Sejarah Ekonomi Islam, Dasar Ekonomi Islam, melihat sejarah ekonomi islam, bagaimana sejrah ekonomi islam, perkembangan ekonomi islam, latar belakang ekonomi islam.
Home » Ekonomi Syariah » Sejarah Ekonomi Islam, Dasar Ekonomi Islam

Sejarah Ekonomi Islam, Dasar Ekonomi Islam

admin 16 Mei 2013 102

Sejarah Ekonomi Islam, Dasar Ekonomi Islam, melihat sejarah ekonomi islam, bagaimana sejrah ekonomi islam, perkembangan ekonomi islam, latar belakang ekonomi islam. Salah satu misi Rasulullah diutus ke dunia ini oleh Allah adalah membangun rakyat yang beradab. Langkah awal yang dilakukan Nabi Muhammad menanamkan pemahaman keimanan dan keberadaannya di muka bumi ini. Ajaran nabi menjadikan manusia sebagai pribadi yang bebas dalam mengoptimalkan potensi dirinya. Kebebasan merupakan unsur kehidupan yang paling mendasar dipergunakan sebagai syarat untuk mencapai keseimbangan hidup. Nilai-nilai manusiawi inilah yang menyebabkan ajaran Nabi Muhammad berlaku hingga akhir zaman.
Setelah wafatnya nabi kepemimpinan dipegang oleh Khulafa al Rasyidin, berbagai perkembangan, gagasan, dan pemikiran muncul pada masa itu. Hal ini tercermin dari kebijakan-kebijakan yang berbeda antar Khalifah itu sendiri, kebijakan-kebijakan itupun muncul sebagai akibat dari munculnya masalah-masalah baru. Salah satunya pemenuhan kehidupan masyarakat di bidang ekonomi sehingga masalah teknis untuk mengatasi masalah-masalah perniagaan muncul pada waktu itu. Sejumlah aturan yang bersumberkan Al-Qur’an dan Hadist Nabi hadir untuk memecahkan masalah ekonomi yang ada. Masalah ekonomi menjadi bagian yang penting pada masa itu.
Pemikiran ekonomi Islam dimulai sejak Muhammad dipilih menjadi rasul, beliau mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyangkut dengan kemaslahatan umat, selain masalah hukum dan politik, tetapi juga masalah ekonomi atau perniagaan-mu’amalat. Masalah ekonomi rakyat menjadi perhatian Rasulullah karena masalah itu merupakan pilar penyangga keimanan yang harus diperhatikan, hal ini terbukti dengan adanya hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Rasulullah bersabda yang artinya : “Kemiskinan membawa kepada kekafiran.” Maka upaya memberantas kemiskinan merupakan bagian dari kebijakan Rasulullah SAW. Selanjutnya kebijakan-kebijakan Rasulullah menjadi pedoman oleh pada penggantiNya yaitu Khulafa al Rasyidin dalam memutuskan kebijakan-kebijakan ekonomi. Al-Qur’an dan hadist menjadi sumber dasar sebagai teori ekonomi.
Membicarakan sistem ekonomi Islam secara utuh, tidak cukup dikemukakan pada tulisan yang sempit ini, karena sistem ekonomi Islam mencakup beberapa segi dan mempunyai ketergantungan dengan beberapa disiplin ilmu lainnya sebagaimana juga yang ditemukan pada studi ekonomi umum. Persolan sistem bank syariah hanyalah sebagian kecil dari sederetan masalah-masalah yang terdapat dalam studi ekonomi Islam. Kendati demikian, sistem ekonomi Islam mempunayi ciri khas dibanding sistem ekonomi lain (kapitalis-sosialis). Ekonomi Islam bersifat robbani, menjunjung tinggi etika, menghargai hak-hak kemanuisaan dan bersifat moderat.

A. Kontribusi Ekonomi Musim Klasik
Sejarah membuktikkan bahwa para pemikir muslim merupakan penemu, peletak dasar, dan pengembang dalam berbagai bidang-bidang ilmu. Nama-nama pemikir muslim bertebaran di sana-sini menghiasi arena ilmu-ilmu pengetahuan. Baik ilmu alam maupun ilmu sosial. Mulai dari filsafat, matematika, astronomi, ilmu optik, biologi, kedokteran, sejarah, sosiologi, psikologi, pedagogi, sampai termasuk juga ilmu ekonomi.
Para pemikir klasik muslim tidak terjebak untuk mengotak-ngotakkan barbagai macam ilmu tersebut seperti yang dilakukan para pemikir saat ini. Mereka melihat ilmu-ilmu tersebut sebagai “ayat-ayat” Allah yang bertebaran di seluruh alam. Dalam pandangan mereka, ilmu-ilmu itu walaupun sepintas terlihat berbeda-beda dan bermacam-macam jenisnya, namun pada hakikatnya berasal dari sumber yang satu, yakni dari Yang Maha Mengetahui seluruh ilmu, Yang Maha Benar, Allah SWT. Para pemikir muslim memang melakukan klasifikasi terhadap berbagai macam ilmu, tetapi yang dilakukan oleh mereka adalah pembeda, bukan pemisahan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila para pemikir klasik muslim menguasai bebagai macam bidang ilmu. Ibnu Sina (980-1037M), sebagai contoh, selain terkenal sebagai ahli kedokteran,[1] juga ahli filsafat. Bahkan ia juga mendalami psikologi dan musik. Al-Ghazali (450H/1058M-505/111M),[2] selain banyak membahas masalah-masalah fiqh (hukum), ilmu qalam (teologi), dan tasawuf, beliau juga banyak membahas masalah filsafat, pendidikan, psikologi, ekonomi, dan pemerintahan. Sayangnya tradisi pemikiran seperti ini tidak berlanjut sampai sekarang karena mundurnya peradaban umat muslim hampir disegala bidang. Kemunduran sebagian disebabkan karena musuh dari luar, sebagian lagi disebabkan oleh sikap umat muslim sendiri. Umat muslim tenggelam lama dalam tidur nyeyaknya. Kegiatan berpikir berhenti sehingga umat muslim mengalami kemerosotan disegala bidang. Mulai dari bidang politik, ekonomi, teknologi, ilmu pengetahuan, sosial, seni, dan kebudayaan. Lama-kelamaan peradaban muslim tidak terdengar gaungnya untuk jangka waktu yang lama. Bahkan negeri-negeri muslim akhirnya menjadi sasaran empuk penjajahan bangsa-bangsa non-muslim. Banyak industri khas Islami yang terpinggirkan (untuk tidak menyebut hilang). Kedaulatan politik diambil alih oleh bangsa penjajah warisan Romawi. Institusi ekonomi Islam (baitul maal, al-hisbah, suftaja, hawala,funduk, dar al-Tiraz, Ma’una dan lain-lain) terpinggirkan. Dalam bidang seni dan budaya Barat. Dalam bidang seni dan budaya, terjadi pengekoran yang membabi buta terhadap budaya Barat. Dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan, terjadi sekularisme. Hasilnya, pada masa kini umat muslim identik dengan kebodohan dan kemiskinan.[3] (sungguh ironis mengingat ayat Al-Qur’an yang pertama turun adalah perintah “Iqra”; “Bacalah” dan mengingat salah satu doa nabi yang selalu beliau ulang-ulang: ”Ya Allah, aku berlidung kepada-Mu kekufuran dan kefaqiran…”
Di tengah-tengah keadaan seperti ini terjadilah proses kehilangan fakta-fakta sejarah, baik itu disengaja maupun tidak disengaja. Andil pemikir-pemikir muslim dalam ilmu-ilmu pengetahuan tertutupi sehingga bila kita membaca buku-buku sejarah ilmu pengetahuan, maka sebagian besar menyatakan bahwa sejak zaman filosof-filosof Yunani yang mahsyur (Socrates, Plato, Aritoteles, dan lain-lain) beberapa abad sebelum semua ilmu, tidak terkecuali ilmu ekonomi.
Josheph Schumpeter,[4] misalnya dalam buku opus-nya menyatakan adanya great gap dalam sejarah pemikiran ekonomi selama 500 tahun, yaitu masa yang dikenal umat muslim, suatu hal yang berusaha ditutupi oleh Barat karena pemikiran ekonom muslim pada masa inilah banyak dicuri oleh para ekonom Barat. Para ekonom muslim sendiri mengakui, meraka banyak membaca dan dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Aritoteles (367-322SM) sebagai filsuf yang banyak menulis masalah ekonomi. Namun mereka tetap menjadikan Al-Qur’an dan hadist sebagai rujukan utama dalam menulis teori-teori ekonomi Islami. Schumpeter menyebut dua kontribusi ekonom scolastik, yaitu penemuan kembali tulisan-tulisan Aritoteles dan towering achievement st.Thomas Aquinas (1255-1274). Schumpeter hanya menulis tiga baris dalam catatan kakinya nama Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dalam kaitan proses transmisi pemikiran Aritoteles kepada St.Thomas. Pemikiran ekonomi St.Thomas sendiri banyak yang bertentangan dengan dogma-dogma gereja sehingga para sejarahwan menduga St.Thomas mencuri ide-ide itu dari para ekonom muslim.
Adapun proses pencurian terjadi dalam berbagai bentuk. Pada abad ke-11 dan ke-12, sejumlah pemikir Barat seperti Contantine the African, Adelard of Bath melakukan perjalanan ke Timur Tengah. Mereka belajar Bahasa Arab dan melakukan studi serta membawa ilmu-ilmu baru ke Eropa. Contohnya, Leornado of Pisa belajar di Bougie, Aljazair pada abad ke-12. Ia juga belajar aritmetika dan matematika Al-Khwarizmi (780-850M) dan sekembalinya dari sana ia menulis buku Liber Abaci pada tahun 1202. Raymond Lyli (1223-1315) yang telah melakukan perjalanan ke negara-negara Arab mendirikan lima universitas yang mengajarkan Bahasa Arab sehingga banyak yang kemudian menerjemahkan karya-karya ekonom muslim. Diantara penerjemah tersebut adalah adelard of Bath, Constantine the African, Michael Scot, Hermaan the German, Dominic Gundislavi, John of Seville, Olato of Trivoli William of Luna, Robert Chester, Gerard of Cremona,dan lain-lain. Sementara itu di antara para penerjemah Yahudi adalah Jacob of Anatolio, Jacob ben Macher Ibn Tibbon, Kalanymus ben kalonymus, Moses ben Solomon of Solon, Yakub ben Abbon Marie dan lain-lain. Adapun karya-karya ekonom muslim yang diterjemahkan adalah Al-Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, A- Ghazali, Ibnu Rusyd, Al-Khwarizmi, Ibnu Haytham. Ibnu Hazm, Jabir Ibnu Hayyam, Ibnu Bajja, Ar-Razi.
Beberapa pemikiran ekonom muslim yang dicuri tanpa pernah disebut sumber kutipannya antara lain:
1. Teori Pareto Optimum diambil dari kitab Nahjul Balaghah Imam Ali.
2. Bar Herbraeus, pendeta Syriac Jacobite Church, menyalin beberapa bab Ihya Ulumudin Al-Ghazali.
3. Gresham-law dan Oresme Treatrise dari dari kitab Ibnu Taimiyah.
4. Pendeta gereja Spanyol Ordo Dominican Raymond Martini mayalin banyak bab dari Tahafut Al-Falasifa, Maqasid Al-Falasifa, Al-Munqid, Misykat Al-Anwar, dan Ihya-nya Al-Ghazali.
5. St.Thomas menyakin banyak bab dari Al-Farabi (St.Thomas yamg belajar di Ordo Dominican mempelajari ide-ide Al-Ghazalidari Bar Hebraeus dan Martini).
6. Bapak Ekonomi Barat, Adam Smith (1776 M), dengan bukunya The Wealth Of Nation diduga banyak mendapat inspirasi dari buku al-amwal-nya Abu Ubayd (838 M) yang dalam bahsa Inggrisnya adalah persis judul bukunya Smith The Wealth.
Dengan demikian, para pemikir-pemikir ekonomi muslim telah mengidentifikasi banyak konsep, variable, dan teori-teori ekonomi yang masih relevan hingga kini. Ibnu Al-Nadim (438/1047M) mencatat nama beberapa ulama dengan sejumlah karya ilmiah yang secara khusus membahas masalah ekonomi dan keuangan.[5] Sebagian karya itu ada yang masih bertahan sampai sekarang, sebagian lagi sudah hilang . Yang hilang itu antara lain:
1. Hafshawaih: ”Kitab Al-Kharaj.” Buku ini merupakan yang pertama dalam masalah ini.
2. Al-Hasan Bin Ziyad Al-Lu’lu’I (204 H/819 M): “Al-Kharaj” dan Al-Nafaqat”.
3. Al-Haetsam Bin Adi al-Kufi (114-207 H/732-831 M).
4. Al-Ashma;I, Abu Abdul Malik (122-216 H/740-831 M): Kitab Al-Kharaj
5. Ja’far Bin Mubasysyir (234 H/848 M).
6. Abdul ‘Abbas al-ahwal (270 H-883 M).
Oleh sebab para pemikir Islami sebenarnya telah memberikan kontibusi yang sangat berarti bagi perkembangan ilmu ekonomi modern. Dengan demikian, teori ekonoomi Islam sebenarnya bukan ilmu baru.
Sikap umat muslim terhadap ilmu-ilmu dari Barat, termasuk ilmu ekonomi versi “kovensional”, adalah la takadzibuhu jamii’a, wala tushahhihuhu jamii’a (jangan menolak semuanya, dan jangan pula menerima semuanya). Maka ekonomi muslim tidak perlu terkesima dengan teori-teori ekonomi Barat. Ekonom muslim perlu mempunyai akses terhadap kitab-kitab klasik Islami. Di lain pihak, fuqaha Islami perlu juga mempelajari teori-teori ekonomi modern agar dapat menterjemahkan kondisi ekonomi modern dalam bahasa kitab klasik Islami.

Sejarah Ekonomi Islam
Pada masa pemerintahan Rasulullah, perkembangan ekonomi tidaklah begitu besar dikarenakan sumber-sumber yang ada pada masa itu belum begitu banyak. Sampai tahun ke empat hijrah, pendapatan dan sumber daya negara masih sangat kecil. Kekayaan pertama datang dari banu Nadar, suatu suku yang tingggal di pinggiran Madinah. Kelompok ini masuk dalam Pakta Madinah tetapi mereka melanggar perjanjian bahkan berusaha untuk membunuh Rasulullah. Nabi meminta mereka untuk meninggalkan kota namun mereka menolaknya. Nabipun menyerahkan tentara dan mengepung mereka.
Akhirnya mereka menyerah dan setuju meninggalkan kota dengan membawa barang-barang sebanyak daya angkutan unta, kecuali baju baja-besi. Semua milik banu Nazir yang ditinggalkan menjadi milik kaum muslimin. Rasulullah membagikan tanah ini sebagian besar kepada Muhajirin dan orang-orang Anshar yang miskin. Pendapatan utama pada masa Rasulullah: Pendapatan utama pada masa ini adalah zakat, yang berbeda dengan pajak. Zakat tidak diperlakukan dengan pajak.
Zakat merupakan kewajiban agama dan termasuk pilar Islam. Pengeluaran dan penyaluran zakat ini diatur secara jelas dalam Al-Qur’an surah at Taubah ayat 60 yang artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin, badan kepengurusan zakat, para Mu’allaf-orang yang baru masuk islam-yang dibujuk hatinya, untuk-memerdekakan-budak, orang-orang yang berhutang-untuk keperluan agama,untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Sumber pendapatan sekunder antara lain:
Uang tebusan untuk para tawanan perang
Harta karun temuan pada periode sebelum Islam
Harta benda kaum muslimin yang meninggalkan negerinya
Wakaf harta benda yang diindikasikan kepada umat Islam pendapatannya didepositokan ke baitul mal
Nawaib, yaitu pajak yang dibebankan kepada kaum muslimin yang kaya-borjuis
Zakat fitrah
Sedekah seperti korban dan korban dan Kaffarat- denda atas kesalahan yang dilakukan kaum muslimin pada acara ke agamaan seperti berburu pada musim haji.

Secara umum kita bisa membaginya sejarah perkembangan ekonomi Islam sebagai berikut:
a) Periode Pertama/Fondasi (Masa awal Islam-450 H/1058 M)
Pada periode ini banyak sarjana muslim yang pernah hidup bersama para sahabat Rasulullah dan para tabi’in sehingga dapat memperoleh referensi ajaran Islam yang akurat. Seperti Zayd bin Ali (120 H/798 M), Abu Yusuf (182/798), Muhammad Bin Hasan al Shaybani (189/804), Abu Ubayd (224/838) Al Kindi (260/873), Junayd Baghdadi (297/910), Ibnu Miskwayh (421/1030), dan lain-lain.

b) Periode Kedua (450-850 H/1058-1446 M)
Pemikiran ekonomi pada masa ini banyak dilatarbelakangi oleh menjamurnya korupsi dan dekadensi moral, serta melebarnya kesenjangan antara golongan miskin dan kaya, meskipun secara umum kondisi perekonomian masyarakat Islam berada dalam taraf kemakmuran. Terdapat pemikir-pemikir besar yang karyanya banyak dijadikan rujukan hingga kini, misalnya Al Ghazali (451-505 H/1055-1111 M), Nasiruddin Tutsi (485 H/1093 M), Ibnu Taimyah (661-728 H/1263-1328 M), Ibnu Khaldun (732-808 H/1332-1404 M), Al Maghrizi (767-846 H/1364-1442 M), Abu Ishaq Al Shatibi (1388 M), Abdul Qadir Jaelani (1169 M), Ibnul Qayyim (1350 M), dan lain-lain.

c) Periode Ketiga (850-1350 H/1446-1932 M)
Dalam periode ketiga ini kejayaan pemikiran, dan juga dalam bidang lainnya, dari umat Islam sebenarnya telah mengalami penurunan. Namun demikian, terdapat beberapa pemikiran ekonomi yang berbobot selama dua ratus tahun terakhir, Seperti Shah Waliullah (1114-1176 M/1703-1762 M), Muhammad bin Abdul Wahab (1206 H/1787 M), Jamaluddin al Afghani (1294 M/1897 M), Muhammad Abduh (1320 H/1905 M), Ibnu Nujaym (1562 M), dan lain-lain.

d) Periode Kontemporer (1930 –sekarang)
Era tahun 1930-an merupakan masa kebangkitan kembali intelektualitas di dunia Islam. Kemerdekaan negara-negara muslim dari kolonialisme Barat turut mendorong semangat para sarjana muslim dalam mengembangkan pemikirannya Ahmad, Khurshid (1985 h. 9-11) membagi perkembangan pemikiran ekonomi Islam kontemporer menjadi 4 fase sebagaimana berikut:
1) Fase Pertama
Pada pertengahan 1930-an banyak muncul analisis–analisis masalah ekonomi sosial dari sudut syariah Islam sebagai wujud kepedulian teradap dunia Islam yang secara umum dikuasai oleh negara-negara Barat. Meskipun kebanyakan analisis ini berasal dari para ulama yang tidak memiliki pendidikan formal bidang ekonomi, namun langkah mereka telah membuka kesadaran baru tentang perlunya perhatian yang serius terhadap masalah sosial ekonomi. Berbeda dengan para modernis dan apologist yang umum berupaya untuk menginterpretasikan ajaran Islam sedemikian rupa sehingga sesuai dengan praktek ekonomi modern, para ulama ini secara berani justru menegaskan kembali posisi Islam sebagai comperehensive way of life, dan mendorong untuk suatu perombakan tatanan ekonomi dunia yang ada menuju tatatan yang lebih Islami. Meskipun pemikiran-pemikiran ini masih banyak membahas hal-hal elementer dan dalam lingkup yang terbatas, namun telah menandai sebuah kebangkitan pemikiran Islam modern.

2) Fase Kedua
Pada sekitar tahun 1970-an banyak ekonom muslim yang berjuang keras mengembangkan aspek tertentu dari ilmu ekonomi Islam, terutama dari sisi moneter. Mereka banyak mengetengahkan pembahasan tentang bunga dan riba dan mulai menawarkan alternatif pengganti bunga. Kerangka kerja suatu perbankan yang bebas bunga mendapat bahasan yang komperehensif. Berbagai pertemuan internasional untuk pembahasan ekonomi Islam diselenggarakan untuk mempercepat akselerasi pengembangan dan memperdalam cakupan bahasan ekonomi Islam. Konferensi internasional pertama diadakan di Mekkah, Saudi Arabia pada tahun 1976, disusul Konferensi Internasional tentang Islam dan Tata Ekonomi Internasional Baru di London, Inggris pada tahun 1977, dua seminar Ilmu Ekonomi Fiskal dan Moneter Islam di Mekkah (1978) dan di Islamabad, Pakistan (1981), Konferensi tentang Perbankan Islam dan Strategi Kerjasama Ekonomi di Baden-baden Jerman Barat (1982), serta Konferensi Internasional Kedua tentang Ekonomi Islam di Islamabad (1983). Pertemuan yang terakhir ini secara rutin tetap berlangsung (2001) dengan tuan rumah negara-negara Islam. Sejak itu banyak karya tulis yang dihasilkan dalam wujud makalah, jurnal ilmiah hingga buku.

3) Fase Ketiga
Perkembangan pemikiran ekonomi Islam selama satu setengah dekade terakhir menandai fase ketiga di mana banyak berisi upaya-upaya praktikal-operasional bagi realisasi perbankan tanpa bunga, baik di sektor publik maupun swasta. Bank-bank tanpa bunga banyak didirikan, baik di negara-negara muslim maupun di negara-negara non muslim, misalnya di Eropa dan Amerika. Dengan berbagai kelemahan dan kekurangan atas konsep bank tanpa bunga yang digagas oleh para ekonom muslim dan karenanya terus disempurnakan langkah ini menunjukkan kekuatan riil dan keniscayaan dari sebuah teori keuangan tanpa bunga.

4) Fase Keempat
Pada saat ini perkembangan ekonomi Islam sedang menuju kepada sebuah pembahasan yang lebih integral dan komperehensif terhadap teori dan praktek ekonomi Islam. Adanya berbagai keguncangan dalam sistem ekonomi konvensional, yaitu kapitalisme dan sosialisme, menjadi sebuah tantangan sekaligus peluang bagi implementasi ekonomi Islam. Dari sisi teori dan konsep yang terpenting adalah membangun sebuah kerangka ilmu ekonomi yang menyeluruh dan menyatu, baik dari aspek mikro maupun makro ekonomi. Berbagai metode ilmiah yang baku banyak diaplikasikan di sini. Dari sisi praktikal adalah bagaimana kinerja lembaga ekonomi yang telah ada (misalnya bank tanpa bunga) dapat berjalan baik dengan menunjukkan segala keunggulannya, serta perlunya upaya yang berkesinambungan untuk mengaplikasikan teori ekonomi Islam. Hal-hal inilah yang banyak menjadi perhatian dari para ekonom muslim saat ini.

Sedangkan menurut sumber yang lain, sejarah perkembangan ekonomi Islam dapat dibagi pada empat fase:
1. Masa Pertumbuhan
Masa pertumbuhan terjadi pada awal masa berdirinya negara Islam di Madinah. Meskipun belum dikatakan sempurna sebagai sebuah studi ekonomi, tapi masa itu merupakan benih timbulnya dasar ekonomi Islam. Segala dasar dan praktek ekonomi Islam sebagai sebuah sistem telah dipraktekkan pada masa itu, tentunya dengan kondisi yang sangat sederhana sesuai dengan masanya. Lembaga keuangan seperti bank dan perusahan besar tentunya belum ditemukan. Namun demikian lembaga moneter di tingkat pemerintahan telah ada, yaitu berupa baitul mal. Perusahaanpun telah dipraktekkan dalam skala kecil dalam bentuk musyarakah.

2. Masa Keemasan
Setelah terjadi beberapa perkembangan dalam kegiatan ekonomi, pada abad ke-2 Hijriyah para ulama mulai meletakkan kaidah-kaidah bagi dibangunnya sistem ekonomi Islam di sebuah negara atau pemerintahan. Kaidah-kaidah ini mencakup cara-cara bertransaksi (akad), pengharaman riba, penentuan harga, hukum syarikah, pengaturan pasar, dan lain sebagainya. Namun kaidah-kaidah yang telah disusun ini masih berupa pasal-pasal yang tercecer dalam buku-buku fiqih dan belum menjadi sebuah buku dengan judul ekonomi Islam.
3. Masa Kemunduran
Dengan ditutupnya pintu ijtihad, maka dalam menghadapi perubahan sosial, prinsip-prinsip Islam pada umumnya dan prinsip ekonomi khususnya, tidak berfungsi secara optimal, karena para ulama seakan tidak siap dan berani untuk langsung menelaah kembali sumber asli tasyri’ dalam menjawab perubahan tersebut. Mereka lebih suka merujuk pada pendapat para imam mazdhab terdahulu dalam mengistimbat suatu hukum, sehingga ilmu-ilmu keislaman lebih bersifat pengulangan dari pada bersifat penemuan. Tradisi taklid ini menimbulkan stagnasi dalam mendiscover ilmu-ilmu baru, khususnya dalam menjawab hajat manusia di bidang ekonomi. Padahal ijtihad adalah sumber kedua Islam setelah Al-Quran dan Sunnah. Dan pukulan telak terhadap Islam adalah ketika ditutupnya pintu ijtihad tersebut.

4. Masa Kesadaran
Sejak ditutupnya pintu ijtihad pada abad ke-15 H, hubungan antara sebagian masyarakat dengan penerapan syariat Islam menjadi renggang. Sebagaimana juga telah terhentinya studi tentang ekonomi Islam, hingga sebagian orang telah lupa sama sekali bahkan ada sebagian pihak yang mengingkari istilah “ekonomi Islam”. Ajaran Islam akhirnya terpojok pada hal-hal ibadah mahdloh dan persoalan perdata saja. Lebih ironisnya lagi sebagian hal itu pun masih jauh dari ajaran Islam yang benar.
Namun demikian, meskipun studi ilmiah modern dalam bidang ekonomi masih sangat terbatas, namun usaha-usaha telah dilakukan, antara lain:
Pertama, studi ekonomi mikro. Dalam hal ini studi terfokus pada masalah-masalah yang terpisah, seperti pembahasan tentang riba, monopoli, penentuan harga, perbankan, asuransi kebebasan dan intervensi pemerintah pada kegiatan ekonomi dan lain-lain.
Buah dari semaraknya studi-studi ekonomi Islam ini membuahkan berdirinya bank-bank Islam, baik dalam skala nasional maupun internasional. Dalam skala internasional misalnya, telah berdiri Islamic Development Bank (IDB/Bank Pembangunan Islam). Dalam agreement establishing the islamic Development Bank (anggaran dasar IDB) pada article 2 disebutkan bahwa salah satu fungsi dan kekuatan IDB pada ayat (xi) adalah melaksanakan penelitian untuk kegiatan ekonomi, keuangan dan perbankan di negara-negara muslim dapat sejalan dengan syari’ah. IDB juga telah memberikan bantuan teknis, baik dalam bentuk mensponsori penyelenggaraan seminar-seminar ekonomi dan perbankan Islam di seluruh dunia maupun dalam bentuk pembiayaan untuk tenaga perbankan yang belajar di bank Islam serta tenaga ahli bank yang ditempatkan di bank Islam yang baru berdiri.
Bukti lain maraknya pelaksanaan ekonomi Islam adalah laporan dari data yang diambil dari Directory Of Islamic Financial Institutions tahun 1988 terbitan IRTI/IDB bahwa sedikitnya telah 32 bank Islam berdiri di seluruh dunia, termasuk di Eropa. Bila di Indoneisa banyak bank konvensional beralih bentuk ke bank syari’ah, berarti pertumbuhan bank syari’ah semakin cepat dan diminati oleh kalangan usahawan, belum lagi pertumbuhan bank syariah di negara lain dalam dekade ini, seperti di Malaysia dan negara-negara Islam lainnya.

C. Pengaruh Islam dalam Perkembangan Akuntansi (Pra-Pemerintahan Islam)
1. Pada masa penyebaran Islam, peradaban manusia didominasi oleh Bangsa Persia dan Bangsa Romawi.
2. Sebagian besar daerah di Timur Tengah berada dalam jajahan Romawi dan menggunakan bahasa negara jajahan seperti Sham (meliputi Siria, Lebanon, Jordania, Palestina, Israel), sedang Iraq dijajah oleh Persia.
3. Perdagangan Bangsa Arab Mekkah terbatas ke Yaman pada musim dingin dan ke Sham pada musim panas.

D. Pengaruh Islam dalam Perkembangan Akuntansi (Pasca-Pemerintahan Islam)
1. Penyebaran Islam menyebabkan penggunaan angka arab (adanya angka nol) meluas ke berbagai wilayah di dunia.
2. Kewajiban mencatat transaksi tidak tunai mendorong umat Islam peduli terhadap pencatatan dan menimbulkan tradisi pencatatan transaksi di kalangan umat. Hal ini mendorong berkembangnya kerjasama (partnership).
3. Kewajiban membayar zakat telah mendorong:
a. Pemerintah Islam membuat laporan keuangan periodik Baitul Maal
b. Pedagang muslim mengklasifikasikan hartanya sesuai ketentuan zakat dan membayarkan zakatnya jika telah memenuhi nishab dan haul.
4. Peran akuntan penting dalam pengambilan keputusan terkait dengan kekayaan pemerintah dan pedagang.

Perkembangan Ekonomi Islam di Indonesia
Di Indonesia, perkembangan pembelajaran dan pelaksanaan ekonomi Islam juga telah mengalami kemajuan yang pesat. Pembelajaran tentang ekonomi Islam telah diajarkan di beberapa perguruan tinggi negeri maupun swasta. Perkembangan ekonomi Islam telah mulai mendapatkan momentum sejak didirikannya Bank Muamalat pada tahun 1992. Berbagai Undang-Undangnya yang mendukung tentang sistem ekonomi tersebutpun mulai dibuat, seperti UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
1. Sejarah Berdirinya
Sebenarnya aksi maupun pemikiran tentang ekonomi berdasarkan Islam memiliki sejarah yang amat panjang. Pada sekitar tahun 1911 telah berdiri organisasi Syarikat Dagang Islam yang beranggotakan tokoh-tokoh atau intelektual muslim saat itu. Perkembangan ekonomi Islam yang semakin marak ini merupakan cerminan dan kerinduan umat Islam di Indonesia ini khususnya seorang pedagang, berinvestasi, bahkan berbisnis yang secara Islami dan diridhai oleh Allah swt. Dukungan serta komitmen dari Bank Indonesia dalam keikutsertaanya dalam perkembangan ekonomi Islam dalam negeripun merupakan jawaban atas gairah dan kerinduan dan telah menjadi awalan bergeraknya pemikiran dan praktek ekonomi Islam di Indonesia, juga sebagai pembaharuan ekonomi dalam negeri yang masih penuh kerusakan ini, serta awal kebangkitan ekonomi Islam di Indonesia maupun di seluruh dunia, misalnya di Indonesia berdiri Bank Muamalat tahun 1992.
Pada awal tahun 1997, terjadi krisis ekonomi di Indonesia yang berdampak besar terhadap goncangan lembaga perbankan yang berakhir likuidasi pada sejumlah bank, Bank Islam atau Bank Syariah justru bertambah semakin pesat. Pada tahun 1998, sistem perbankan Islam dan gerakan ekonomi Islam di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat.
2. Tantangan yang Harus dihadapi
Ekonomi Islam mendapat tantangan yang sangat besar pula. Setidaknya ada tiga tantangan yang harus dihadapi, yaitu: Pertama, ujian atas kredibilitas sistem ekonomi dan keuanganya. Kedua, bagaimana sistem ekonomi Islam dapat meningkatkan dan menjamin atas kelangsungan hidup dan kesejahteraan seluruh umat, dapat menghapus kemiskinan dan pengangguran di Indonesia ini yang semakin marak, serta dapat memajukan ekonomi dalam negeri yang masih terpuruk dan dinilai rendah oleh negara lain. Dan yang ketiga, mengenai perangkat peraturan; hukum dan kebijakan baik dalam skala nasional maupun dalam skala internasional. Untuk menjawab pertanyaan itu, telah dibentuk sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang tersebut yaitu organisasi IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia).
Organisasi tersebut didirikan dimaksudkan untuk membangun jaringan kerja sama dalam mengembangkan ekonomi Islam di Indonesia baik secara akademis maupun secara praktek. Dengan berdirinya organisasi tersebut, diharapkan agar para ahli ekonomi Islam yang terdiri dari akademisi dan praktisi dapat bekerja sama untuk menjalankan pendapat dan aksinya secara bersama-sama, baik dalam penyelenggaraan kajian melalui forum-forum ilmiah ataupun riset, maupun dalam melaksanakan pengenalan tentang sistem ekonomi Islam kepada masyarakat luas.

KESIMPULAN

Secara umum kita bisa membagi sejarah perkembangan ekonomi Islam sebagai berikut:
Periode Pertama/Fondasi (Masa awal Islam-450 H/1058 M)
Periode Kedua (450-850 H/1058-1446 M)
Periode Ketiga (850-1350 H/1446-1932 M)
Periode Kontemporer (1930-sekarang)
Ada empat fase di dalam perkembangan ekonomi kontemporer:
Fase Pertama (pertengahan tahun 1930-an)
Fase Kedua (sekitar tahun 1970-an)
Fase Ketiga
Fase Keempat
Di Indonesia, perkembangan pembelajaran dan pelaksanaan ekonomi Islam juga telah mengalami kemajuan yang pesat. Berbagai Undang-Undangnya yang mendukung tentang sistem ekonomi, antara lain Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Sejarah Ekonomi Islam, Dasar Ekonomi Islam, melihat sejarah ekonomi islam, bagaimana sejrah ekonomi islam, perkembangan ekonomi islam, latar belakang ekonomi islam.

Comments are not available at the moment.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked*

*

*

Related post
Memahami Sistem Ekonomi Islam Dalam Untuk Menjalankan Bisnis

admin

15 Mei 2013

Memahami Sistem Ekonomi Islam Dalam Untuk Menjalankan Bisnis, pemahaman sistem ekonomi islam kekinian, prinsip ekonomi syariah. Ilmu ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam. Sejauh mengenai masalah pokok, hampir tidak terdapat perbedaan apapun antara ilmu ekonomi Islam dan ilmu ekonomi modern. Andaipun ada perbedaan itu terletak pada …

Pandangan Islam Terhadap Jual Beli, Sebuah Pendekatan Manhaji

admin

06 Mei 2013

Jual beli menurut islam, hukum islam dalam mengatur jual beli, pola jual beli dalam pandangan islam, syariat islam dalam jual beli, fiqih jual beli. Islam melihat konsep jual beli itu sebagai suatu alat untuk menjadikan manusia itu semakin dewasa dalam berpola pikir dan melakukan berbagai aktivitas, termasuk aktivitas ekonomi. Pasar sebagai tempat aktivitas jual beli …

Akutansi Syariah, Sebuah Prinsip Keuangan Islam

admin

06 Mei 2013

Ilmu akutansi, management akutansi, manajement keuangan, rancangan keuangan, terangkum dalam bingkai prinsip dasar akutansi islam. Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”. Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa …

Hot Categories